saat kemarau mendera, halaman ini menjadi kecoklatan karena tanah yang tidak lagi tertutupi hijaunya rumput tipis-tipis yang dahulu memenuhi setiap ruas yang tidak ditindih semen dan tegel – saat aku menetap di sini sebelum mengucap janji untuk keluar, pindah dan mencoba membangun ruang baru dengan halaman yang lebih kecil namun terlihat apik.

penghujan dan kemarau gilir ganti menurutku adalah hal yang amat baik karena asrinya tampilan membutuhkan air pengasup mineral pada rumput supaya hijaunya tetap terjaga bekerjasama dengan panas yang membantu mengolahnya, meski tak dapat dihindari ada sebagian yang mengering, lalu mati dan tercabut tanpa paksa, namun belakangan akan kembali hijau karena ada tunas-tunas baru muncul di atas akar yang terus mencari jalan keluar menuju pendewasaan.

hari ini giliran penghujan datang membawa segala janji dan harap akan keasrian: hijau memenuhi tanah-tanah retak di halaman. namun setelah kutunggu beberapa lama, hijau itu tak kunjung tampak, hanya warna cokelat becek yang memberi noda pada lantai putih di sampingnya saat terpercik air.

lalu aku yang terduduk di kursi sambil memandang hujan mencoba bertanya – sebagai orang bodoh – pada cipratan yang menyentuh kaki-kakiku…

“mengapa kalian menciprat dan mengotori kaki-kaki ini? seharusnya tidak kalian kandung tanah kotor itu jadi tak perlu aku bersusah-susah membersihkannya”

“apa yang dapat kami lakukan? kami mengharapkan rumput-rumput yang menyambut saat jatuh di halaman, supaya ada manfaat dari sakitnya rasa terhempas itu (karena kami jatuh bebas dari hitungan beberapa jarak di atas puncak menara yang paling angkuh) yang dapat menyegarkan rumput-ruput kering dan membuatnya hijau lagi.”

aku menjadi bingung, mengapa cipratan air kotor itu bagai tak mau disalahkan?

aku sadar ternyata halaman ini adalah tempatku pulang dalam pelarian atas nafsu yang membabi-buta dan tempat menyembunyikan muka yang penuh kotoran runtuh dari langit-langit ruang yang hancur. dalam tenang yang munafik aku tak dapat menyembunyikan panik hingga lupa membawa rumput yang sebagian masih hijau di halaman ruangku sendiri – beberapa tahun yang lalu – sebelum segalanya menjadi alpa dan tak tersirami lalu mengering.

kemudian mati.

dengan demikian biarlah aku menikmati cipratan air kecokelatan yang mengotori kaki-kakiku ini, tiap kali hujan datang dengan segala janji yang dihempasnya bersamaan dengan bisikan terima kasih dari orang-orang yang membutuhkannya, sebagai pengingat dulu yang tertinggal, dulu yang terbuang.

di halaman ini, bukan halamanku sendiri.

Leave a comment