Jokpin

kabar kepergian Pak Joko Pinurbo membuatku merasakan sedih mendalam.

lewat puisi-puisinya yang selalu menggunakan bahasa lugas, sederhana dan tanpa banyak bunga-bunga, beliau menyampaikan bahwa keindahan suatu puisi bukan / tak selalu mengenai banyaknya kosa kata atau frasa namun bagaimana kata disampaikan lewat perenungan dalam kejujuran. keindahan tak usah dikejar, keindahan akan muncul dengan sendirinya ketika sudah melewati perenungan yang dalam. tak usah memikirkan ketenaran atau kebagusan, semua itu menjadi bagian yang diberikan oleh pembaca, bukan menjadi kewajiban penulis untuk memikirkan dan mengejarnya. itu adalah beberapa nasihat yang dapat kutarik dari penyampaian Pak Jokpin lewat suatu kelas bincang-bincang secara daring mengenai menulis puisi. tak heran, apapun yang ditulisnya terasa sederhana namun indah. simpel namun kompleks. paradoks.

pada suatu masa, saat hidup ini terasa amat gelap dan begitu banyak suara berbunyi di dalam hati dan kepala yang tak bisa disuruh diam, tulisan-tulisan Pak Jokpin (juga Pak Sapardi) menjadi alat yang menstimulir otak dan menggerakkan otot jariku untuk mulai menuangkan isi hati yang tak bisa tersampaikan (dengan berbagai alasan) lewat tulisan. ditambah lagi, betapa Pak Jokpin begitu dekat dengan kopi, maka aku merasa memang tak pernah salah keputusanku menjadikan beliau sebagai seorang panutan. tanpa kemewahan atau gaya yang berlebihan dalam tiap penuturannya, aku selalu mampu untuk menertawakan kesusahan lewat renungan menggelitik di puisinya yang nyeleneh. puisi beliau memang seakan mengajakku untuk bisa asik menjalani hidup. asik yang bukan sok asik. namun asik karena bisa melihat (membaca) dan menerima segala aspek naik turun yang bergilir ganti mengisi musim kehidupan dengan segala kewajarannya.

dan hari ini, 27 April 2024, kabar kepergian Pak Joko Pinurbo untuk selamanya membuatku merasa sedih yang amat dalam.

Pak Jokpin, entah apakah di surga sana engkau bisa membuka wordpress dan membaca tulisan pendek ini, yang pastinya tertimbun di bawah jutaan kata yang terangkat atas kepergianmu. aku ingin mengucapkan banyak terima kasih atas karya karyamu yang begitu indah dan membantuku keluar dari lingkaran kebingungan. sekarang engkau sudah pergi, namun karyamu akan selalu tinggal dan hidup selamanya di hati.

jangan lupa minum kopi lagi ya, Pak.

kabar kepergian Pak Joko Pinurbo membuatku merasa sedih yang mendalam.

gambar diambil dari instagram Pak Jokpin
salah satu puisi dalam buku Surat Kopi
rest in love, Pak Joko Pinurbo (gambar diambil dari google)

PH = Eargasm?

sekitar tahun 2020 aku baru mulai mendengar musik via piringan hitam (PH) dan sampai sekarang masih rela menggelontorkan uang tabungan untuk mendapatkan PH kesukaanku karena memang harganya (di negara ini) bisa dibilang tidak murah. beberapa kali aku harus merasakan kepedihan yang mendalam saat melihat PH yang aku suka, namun dompet sedang dalam taraf terendahnya. walhasil, PH hilang karena diembat orang lain yang tentunya punya amunisi rupiah lebih banyak dan bisa kubayangkan senyum puas terlukis di wajahnya yang entah pria atau wanita, sementara aku hanya bisa memeluk guling dan meratapi nasip (ya benar: “nasip”, bukan “nasib”) dan derita berkepanjangan atas kekalahanku melawan takdir. masalahnya, hal itu terjadi bukan sekali-duakali, namun berkali-kali sehingga akhirnya membawaku pada suatu perenungan mendalam, apakah aku pantas menjadi bagian dari orang-orang yang mendengar musik lewat PH? namun lekas-lekas kubuang jauh renungan itu dan menggantinya dengan optimisme tingkat tinggi: aku pasti bisa beli PH yang aku pengen, tinggal mengurangi aja jatah beli buku, beli game, beli diecast, nongkrong di kedai kopi kesayangan dan banyak lagi hal lainnya, yang kalau saja aku jeli (juga rela), banyak koq yang bisa dikorbankan demi mendapatkan PH itu. tapi kemudian aku merenung lagi, mana mungkin aku mengurangi jatah beli buku, wong itu adalah hal yang paling aku suka. dan mana mungkin aku mengurangi jatah nonkrong di kedai kopi kesayangan (yang hampir tiap hari aku tongkrongi) wong itu adalah hal yang kuperlukan untuk menjaga kewarasanku – setiap hari. aku nulis ini aja di kedai kopi koq, hehehee. ternyata tidak semudah itu untuk bisa memilah dan memilih porsi mana yang bisa dikorbankan. saat ingin berhemat di satu hal, maka di saat yang sama juga akan muncul godaan yang amat menggoda sehubungan hal itu. misalnya: sudah niat untuk mengurangi jatah beli sepatu eh tiba-tiba akun IG khusus sepatu kesayangan meluncurkan berita bahwa akan ada rilisan baru yang – sialnya – punya colorway yang syahdu. sungguh kejam. akhirnya aku memiliki kesimpulan: ya udah ga usah dipikirin melulu, nanti malah jadi gila…

jika memang hal itu terasa memberatkan, mengapa pula aku musti memaksakannya? tidak, kawan, sungguh ini tidak memberatkan, hanya saja sulit untuk bisa memenuhi semua keinginan duniawi. dan justru di situlah kutemukan seninya, bagaimana cara menyiasati hidup yang memiliki banyak tuntutan dengan kemampuan terbatas untuk bisa memenuhinya. di situ lah kutemukan hakekat sebagai manusia biasa, yang jikalau bisa memenuhi semuanya maka aku akan menjadi manusia yang super sombong karena tidak merasakan kesulitan. atau menjadi manusia yang (makin) brengsek karena gampang aja mendapatkan/memiliki sesuatu. Tuhan maha besar, diberiNya aku segala macam keterbatasan supaya tetap sadar diri. oh yeah!

lalu kenapa harus bertahan dalam hobi yang satu ini? karena aku menyukai keunikan dan suatu hal yang bisa dinikmati secara utuh, melewati setiap proses dari awal sampai akhir. rilisan fisik selalu memiliki nilai lebih bagiku, karena ada sampul dan juga insert-nya yang bisa dinikmati keindahannya. kemudian ritualnya, mulai dari mengeluatkan plat dari sampul, membersihkan debunya, menaruhnya di turntable, memposisikan jarum, mengatur volume, mendengar sedikit suara “kresek” khas PH, sampai kemudian lagu mengalun dengan syahdu. jika sedang weekend (kalau tidak berpergian) atau hari libur, aku akan menikmati semua itu sambil meneguk espresso shots, membaca insert PH dan kemudian lanjut membaca novel kesukaan. semua itu terasa istimewa, bahkan menjadi hiburan yang terasa “mewah” buatku di jaman yang serba ruwet, ribet dan tak kenal kompromi waktu. meski demikian, aku ga selalu setuju dengan teori orang-orang yang selalu bilang dengerin lagu via PH bisa mencapai eargasm karena kualitas suara yang dihasilkan. perlu kuluruskan di sini, untuk bisa mencapai hal itu tergantung jenis turntable, jarum, ampli, kabel, colokannya dan speaker yang digunakan. kalau pengen mencapai eargasm itu mah kudu “investasi” alat dengan harga fantastis, bahkan juga harus punya ruangan yang didedikasikan khusus dengan segala ukuran yang diperhitungkan dengan seksama. aku masih sangat jauh dari taraf itu, palingan hanya mengganti turntable pertama yang kualitasnya sangat standar dengan yang sedikit lebih serius dan kemudian diganti lagi dengan yang sedikit lebih serius dari yang sebelumnya. juga mengganti kalau tadinya pakai speaker bluetooth sekarang sudah pakai speaker kabel murah meriah bahagia sejahtera yayayaya… eargasm kudapat justru jika aku mendengarkan lagu secara digital, lewat format minimal lossless, pakai DAC dan menggunakan earphone/headphone yang mungkin tiga tingkat lebih baik kualitasnya daripada yang suka dijual di toko kelontong barengan dengan parfum, baju, sandal, tas, catokan rambut, dan perlengkapan rias lainnya.

atas semua yang sudah kutulis, pencapaian eargasm tidak bisa mengalahkan kebahagiaan mempunyai rilisan fisik dari album band / penyanyi kesukaan. tapi, jika aku punya uang berlebih yang entah kapan itu, aku pasti akan mengusahakan menambah perlengkapan yang lebih mumpuni supaya eargasm pun bisa kucapai saat menikmati musik lewat PH. dengan tidak mengorbankan beli buku, diecast, sepatu, makan enak, yang artinya memang entah kapan akan terwujud. ya udah, sekarang mah mencukupkan diri dengan yang sudah ada saja. bagiku, hidup tanpa musik bagaikan sop iga tanpa garam.

3 PH bekas yang paling aku suka karena mengenang masa muda banget

Gelas Khusus

bagiku, minum kopi bukan sekedar untuk menghilangkan rasa kantuk atau supaya bisa fokus kerja, tapi memang menjadi suatu hal yang menyenangkan (dan semua yang menyenangkan itu menjadi kebutuhan utama untuk bertahan hidup, kan?), apapun kopinya, mau dari kopi saset sampai dengan kopi yang memang digiling dan diracik sendiri. tapi aku bukan barista, aku hanya seorang yang senang minum kopi.

dan untuk membuat kesenangan itu semakin menyenangkan, aku kerap menggunakan cangkir/gelas tertentu untuk menikmati kopi. tidak harus mahal atau terlihat estetik yang penting cocok saja dengan hati. hahahaha, mungkin akan ada yang protes, “halah, gelas aja musti cocok sama hati, lebay ah!”, tapi bagiku memang itulah keadaannya, ga dibuat-buat. minum kopi bukan sekedar menenggak air yang dicampur dengan hasil gilingan kopi tetapi ada semacam ritual yang sangat aku nikmati jalannya, dimulai dari menggiling, meratakannya, menaruhnya dalam alat, memencet tombol dan melihat hasilnya yang turun dan tertuang dalam gelas, atau kalau pakai kopi saset, aku menikmati saat-saat merobek kemasan, menaruhnya dalam gelas, menuang air dan mengaduknya, atau kalau dibikinin sama abang tukang starling, aku menikmati pemandangan tumpukan saset kopi di sepeda, lalu cara dia menggunting saset dan menaruh kopi di gelas plastik, menuang air dari termos vintage dan mengaduknya, lalu memberikannya kepadaku, kemudian kumencari tempat duduk yang enak di pinggir jalan, lalu bengong. itulah ritualku saat minum kopi. tapi sekali lagi ya, bukan ritual yang dibuat-buat supaya aku dianggap ahli perkopian atau apapun yang kekinian, namun itu benar-benar hal yang sangat aku nikmati. lebay katamu? ga apa-apa, karena setiap orang punya kesenangan masing-masing dengan tingkat kelebayan yang personal, kan?

namun untuk memakai gelas kesenangan itu berlaku hanya dalam kondisi aku sendiri yang bikin kopinya dan itu buatku. kalau aku ke kedai kopi atau bertamu dan disuguhi kopi tentunya mereka akan menggunakan gelas yang mereka punya saja kan. atau misalnya aku ngopi starling (sbux keliling), sudah pasti kopi itu akan diseduh dalam gelas plastik. tidak akan aku protes karena memang itu adanya. dan itu pun sama sekali tidak masalah buatku. karena minum kopi starling itu enak banget, tau… sambil duduk-duduk di pinggir jalan, bengong sambil melihat hal-hal yang berkelebat di depan mata.

jadi sekali lagi ya, keharusan menggunakan gelas khusus hanya berlaku jika aku sendiri yang bikin dan minum kopi itu. kalau kamu datang ke tempatku dan minta dibikinin kopi pasti akan aku lakukan dengan senang hati tapi tentu tidak menggunakan gelas-gelas kesayanganku melainkan gelas yang khusus untuk tamu. hahahahaha.

jadi, sudahkah kamu minum kopi hari ini? aku sih sudah.